Wednesday, August 19, 2009

RENUNGAN ATAS HASIL ADSTUDENT PINASTHIKA 2009

RENUNGAN ATAS HASIL ADSTUDENT PINASTHIKA 2009

Kebetulan saya mendapatkan kesempatan untuk melihat ke-242 karya yang diperlombakan pada AdStudent Pinasthika 2009 karena karya-karya itupun harus melalui seleksi etika. Tidak akan banyak orang yang akan sempat melihat keseluruhan karya-karya tersebut karena karya-karya itu tidak akan dipamerkan kepada publik. Renungan saya ini dapat dilihat sebagai pandangan orang “awam� atas karya-karya tersebut, karena mereka yang secara resmi berhak menilai karya-karya tersebut adalah dewan juri Pinasthika 2009 (dan saat tulisan ini dibuat, sudah diumumkan 6 finalist AdStudent). Saya hanya mengharapkan renungan ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi para peserta AdStudent tahun ini, calon peserta AdStudent tahun-tahun berikutnya serta para akademisi (dosen) dalam memberikan bimbingan lebih lanjut kepada para peserta dan calon peserta Adstudent.


Renungan saya diawali dengan satu fakta sederhana bahwa dari 242 peserta AdStudent, ternyata hanya 6 ini yg dinilai terbaik oleh dewan juri Pinasthika 2009. Sepengetahuan saya target dari panitia diharapkan bisa mendapatkan 10 finalis. Saya menduga dewan juri mengalami kesulitan untuk menemukan karya-karya lain yg layak dihargai sebagai finalis. Bila benar dugaan saya tersebut, maka saya dapat sangat memahami kondisi tersebut karena sayapun sangat kecewa atas kualitas karya-karya tersebut.


Kekecewaan saya yang paling utama adalah munculnya kesan yang sangat menonjol adanya unsur “malasnya� pengirim karya dalam mengolah brief yang diberikan oleh panitia. Brief yang diberikan (secara singkat dan sederhana) memang menceritakan mengenai belasan juta anak di Indonesia yang tidak dapat meneruskan sekolahnya karena orang-tua mereka kesulitan dalam menyediakan dana pendidikan bagi anak-anak mereka. Tugas yang diberikan adalah membuat suatu karya iklan untuk menggugah mereka yang berpunya (secara ekonomis) untuk mendonasikan dana mereka untuk membantu pendidikan anak-anak tak berpunya tersebut. Apa yang saya lihat pada karya-karya peserta AdStudent adalah sekedar memvisualisasikan brief tersebut (merubah bentuk narasi/teks menjadi visual). Sangat sedikit dari peserta yang berusaha mencari hal-hal yang lebih dalam daripada sekedar memvisualisasikan brief tersebut.


Dalam proses pembuatan iklan yang normal, setelah kita memperoleh brief, maka langkah pertama yang paling penting adalah mendapatkan consumer insight. Apakah para peserta tidak menyadari hal ini? Ataukah memang mereka belum pernah sama-sekali mendapatkan bimbingan mengenai mendalami suatu brief dengan cara menggali consumer insight? Ataukah memang gejala ini menjadi suatu pembenaran atas kemalasan para peserta?

Bila hanya sekedar membaca brief yang diberikan tanpa berusaha untuk melakukan pendalaman dan riset lanjutan, maka dengan sangat mudah, peserta akan terjebak pada suatu insight: “konsumen (masyarakat berpunya) akan merasa sedih bila ditampilkan kesengsaraan anak-anak yang tidak bersekolah�. Saya tidak mengatakan bahwa insight ini salah. Tapi seperti dipercaya oleh banyak praktisi periklanan: garbage in – garbage out; insight seperti ini bersifat sangat generik dan boleh dibilang sebagai “sampah� sehingga hasilnyapun tidak jauh dari “sampah� (maaf atas penggunaan kata yang terkesan kasar ini).


Insight yang sangat generik ini berakibat nyaris semua karya iklan yang dilombakan mempunyai ide kreatif yang sama; yaitu “mari mengemis-ria�. Caranya? Tunjukkan dengan sememelas mungkin visual anak-anak yang tidak dapat bersekolah dengan harapan orang yang berpunya akan bersimpati. Bila demikian cara pendekatannya, apakah bedanya karya-karya peserta lomba ini dengan para pengemis yang mengendong bayi atau anak kecil di perempatan-perempat an jalan? Dan sebenarnya, tidak membutuhkan seorang profesor untuk memahami bahwa pendekatan “mengemis� ini jauh dari unsur efektif. Tanyakan pada diri anda sendiri, seberapa senangkah diri anda bila dihadapan anda muncul pengemis dan meminta uang dari anda? Jawaban dari pertanyaan ini akan mengarahkan anda untuk mencari consumer insight yang lebih dalam lagi.

Dari sisi ide eksekusi juga ternyata para peserta tidak dapat mencari visual-visual yang baru dan segar. Saya dan beberapa rekan-rekan yang hadir saat seleksi etika sampai sempat “menghitung� berapa banyak eksekusi visual yang mirip satu sama lain; misalnya:

  1. Munculnya nama anak “Budi� (Kenapa harus Budi? Kenapa harus pria?)
  2. Munculnya visual toga (Apakah bersekolah berarti harus selalu mencapai tingkat sarjana?)
  3. Munculnya visual anak-anak jalanan sedang mengemis
  4. Munculnya visual alat “ecrek-ecrek� (alat musik yang terbuat dari tutup botol dari kaleng untuk alat mengamen anak-anak jalanan)
  5. Munculnya seragam anak SD (lengkap dengan simbol Departemen Pendidikannya)

Bayangkan bila ke-242 karya yang diperlombakan tersebut mempunyai visual yang sangat mirip satu sama lain seperti di atas. Apakah ini dapat dikatakan sebagai suatu “kebetulan�? Buat saya pribadi, ini bukan kebetulan para peserta menemukan ide yang sama, tapi “kebetulan malasnya sama�.

Kondisi ini juga membuat saya berpikir: apakah para peserta dalam mempersiapkan karyanya mendapatkan bimbingan dari para dosen-dosennya? Bukankah seharusnya para dosen terpanggil untuk ikut membantu proses berkarya para mahasiswanya karena hasil dari lomba ini dapat memberikan citra yang positif (atau negatif) bagi perguruan tingginya? Ataukah jangan-jangan para dosen juga “terlalu malas� untuk terlibat dalam “proyek ecek-ecek� ini?

Saya harapkan tulisan ini dapat menggugah rekan-rekan mahasiswa dan para dosen-dosen terkait untuk meningkatkan semangat dalam menemukan karya-karya kreatif yang satu saat dapat menjadi legenda di masa yang akan datang. Sebelum tutup tahun 2009, akan ada satu lagi lomba tingkat nasional bagi rekan-rekan mahasiswa; yaitu Citra Pariwara 2009. Buktikan di sana bahwa mahasiswa dan dosen di Indonesia, bukanlah mahasiswa dan dosen yang malas!


PS: Bila ada juri Pinasthka 2009 yang membaca tulisan ini, kiranya dapat memperkaya renungan ini dengan memberikan evaluasi yang lebih mendalam atas karya-karya yang dilombakan pada AdStudent Pinasthika 2009.

FX Ridwan Handoyo

Ketua BPP PPPI 2008-2012

No comments: